Sabtu, 11 Juni 2011

Kehidupan Lansia Tunawisma


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti pangan dan sandang, perumahan, kesehatan atau kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggungjawab, rasa keadilan dan keseimbangan antara keduanya, bahwa pembangunan itu merata di seluruh tanah air dan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat sebagai perbaikan tingkat hidup yang berkeadilan sosial, yang menjadi tuntutan dan cita-cita kemerdekaan kita.
Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, menetapkan tujuan perjuangan bangsa kita ialah terwujudnya masyarakat adil dan makmur atau kesejahteraan umum, dan langkah utama untuk mencapai tujuan itu adalah pelaksanaan keadilan sosial. Keadilan sosial mewajibkan masyarakat termasuk negara demi terwujudnya kesejahteraan untuk membagi beban dan manfaat kepada para warga negara secara proporsional, sambil membantu anggota masyarakat secara proporsional, sambil membantu anggota masyarakat yang lemah, dan di lain pihak untuk memberikan kepada masyarakat termasuk negara apa yang menjadi haknya.
Pemerintah sebagai pemimpin negara mempunyai tugas utama untuk memajukan kesejahteraan rakyat, dalam rangka itu berhak dan berwajib memungut pajak kepada warganya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sebaliknya pemerintah wajib menjamin agar setiap warganya mencapai kesejahteraan dasar atau taraf hidup minimum yang layak bagi kemanusiaan.
Kalau kita telaah lebih mendalam pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea IV menjelaskan antara lain :
…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan perdamaian dunia.
Ketentuan tersebut menunjukkan keaktifan pemerintah kita dalam memberikan hukum warga negara sesuai dengan hak-hak mereka, guna mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya, sebagai mana dijamin secara pasti oleh Konstitusi Negara di bawah Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (2) menyebutkan : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”..
Dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.Ini menunjukkan betapa tinggi hasrat dan martabat bangsa Indonesia untuk memajukan bangsanya, demi mewujudkan kesejahteraan rakyat yang merata di semua lapisan masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial ditegaskan tujuan itu dapat dicapai apabila masyarakat dan negara dalam taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya serta menyeluruh dan merata. Kesejahteraan sosial itu sendiri dibatasi sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan bathin. Ini memungkinkan setiap warga untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya.
Berdasarkan rumusan-rumusan yang menitikberatkan pada usaha kesejahteraan, ini mencerminkan negara kita merupakan negara kesejahteraan (welfare state) modern. Konsekuensi sebagai negara kesejahteraan modern seperti negara-negara kesejahteraan lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengusahakan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya tanpa terkecuali.
Perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat di samping membawa manfaat bagi masyarakat juga telah menimbulkan dampak berupa munculnya berbagai masalah sosial seperti gelandangan dan pengemis, tuna susila, tindak kriminal, HIV/AIDS, tunawisma, penyalahgunaan Napza dan kemiskinan.
Krisis multidimensional yang terjadi di Indonesia menyebabkan jumlah tunawisma meningkat pesat, tetapi di lain pihak kemampuan pemerintah Indonesia terbatas. Oleh karena itu, peran aktif dari masyarakat dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial, tunawisma perlu ditingkatkan.
Kondisi kemiskinan yang menahun di desa dengan segala sebab dan akibatnya, seperti antara lain desa yang tidak lagi memberi lapangan pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, lahan yang semakin menyempit, sementara jumlah penduduk desa terus bertambah, menyebabkan perpindahan penduduk desa menuju kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik.
Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat baik secara sendiri-sendiri ataupun bekerja melalui berbagai program namun hasilnya belum optimal. Sejalan dengan diterapkan otonomi daerah melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan adanya perubahan paradigma pelayanan dan rehabilitasi sosial, dari peran pemerintah beralih menjadi lebih mengedepankan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama, atau dalam bentuk program berbasis masyarakat.
Bertitik tolak dari hal di atas, menarik untuk dipersoalkan kenyataan-kenyataan yang ada di tengah dan hidup di masyarakat yang menyangkut masalah kesejahteraan rakyat. Masih banyak saudara-saudara kita yang terbelakang, miskin, jauh dari kehidupan yang layak dan masih banyak tunawisma yang hidup tidak tentu dan berkeliaran di sana-sini. Ini memberi bukti bahwa pembangunan yang dilaksanakan sampai saat ini belum menjangkau saudara-saudara kita dan pembangunan sedang giat-giatnya dilakukan oleh pemerintah belum merata.
Kota Singaraja termasuk salah satu kota tujuan pendatang tidak terlepas pula sebagai wilayah yang dihuni tunawisma yang mempunyai jumlah cukup banyak. Oleh karena menariknya masalah ini untuk dikaji, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai keberadaan jompo tunawisma di kota Singaraja.
           
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1.      Apa faktor-faktor penyebab adanya lansia tunawisma?
  1. Bagaimana upaya dan peranan Pemerintah Kota Singaraja dalam menanggulangi lansia tunawisma di Kota Singaraja ?
  2.  Apa faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam upaya penanggulangan lansia tunawisma di Kota Singaraja?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab adanya lansia tunawisma.
2.       Untuk mengetahui upaya dan peranan Pemerintah Kota Singaraja dalam menanggulangi lansia tunawisma di Kota Singaraja.
3.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam upaya penanggulangan lansia tunawisma di Kota Singaraja.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang bisa kita petik dari tulisan ini adalah sebagai berikut.
  1. Untuk melatih daya nalar mahasiswa dalam memahami masalah-masalah sosial yang ada dalam kehidupan serta dapat memecahkannya secara logis, praktis dan sistematis.
  2. Bagi perguruan tinggi diharapkan memperoleh umpan balik sebagai hasil integrasi mahasiswa dan masyarakat, sehingga materi perkuliahan dapat disesuaikan dengan tuntutan masyarakat.
  3. Bagi pemerintah, untuk dijadikan referensi sebagai bahan pengambilan keputusan dalam menangani masalah-masalah sosial.












BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Tunawisma
Tunawisma adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan, pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda sesuai dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali hidup dari belas kasihan orang lain atau bekerja sebagai pemulung.
Adapun secara spesifik ciri-ciri tunawisma pada lansia yaitu sebagai berikut:
• Para tunawisma  lansia tidak mempunyai pekerjaan
• Kondisi pisik para Tunawisma lansia tidak sehat.
• Para Tunawisma lansia biasanya mencari-cari barang atau makanan disembarang tempat demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
• Para Tunawisma  lansia hidup bebas tidak bergantung kepada orang lain ataupun keluarganya.
Tunawisma pada lansia di bagi menjadi tiga, yaitu:
• Tunawisma biasa, yaitu mereka mempunyai pekerjaan namun tidak mempunyai tempat tinggal tetap
• Tunakarya, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
• Tunakarya cacat, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat tinggal, juga mempunyai kekurangan jasmani dan rohani




2.2 Pengertian Lansia
Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. Lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan terintegrasi.
            Masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek yaitu fisik, psikologik, sosial dan ekonomi. Masalah tersebut dapat berupa emosi labil, mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan, dan tidak berguna. Lansia dengan problem tersebut menjadi rentan mengalami gangguan psikiatrik seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau kecanduan obat. Pada umumnya masalah kesehatan mental lansia adalah masalah penyesuaian. Penyesuaian tersebut karena adanya perubahan dari keadaan sebelumnya (fisik masih kuat, bekerja dan berpenghasilan) menjadi kemunduran.
            Lansia juga identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan mengalami berbagai macam penyakit. Lansia akan memerlukan obat yang jumlah atau macamnya tergantung dari penyakit yang diderita. Semakin banyak penyakit pada lansia, semakin banyak jenis obat yang diperlukan. Banyaknya jenis obat akan menimbulkan masalah antara lain kemungkinan memerlukan ketaatan atau menimbulkan kebingungan dalam menggunakan atau cara minum obat. Disamping itu dapat meningkatkan resiko efek samping obat atau interaksi obat.

2.3 Pengertian Kemiskinan
Hall dan Midgley (2004), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi  deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi  di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. Juga, kemiskinan didefenisikan sebagai  ketidaksamaan  kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial (Friedmann, 1979).
Kemiskinan merupakan suatu ketidaksanggupan seseorang untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan materialnya (Oscar, dalam Suparlan, 1984). Dalam proses dinamikanya, budaya kemiskinan ini selanjutnya menjadi kondisi yang memperkuat kemiskinan itu sendiri. Keadaan tersebut di atas memberikan indikasi bahwa kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak, dimana masing-masing faktor penyebab sekaligus dampak untuk dan dari faktor-faktor lainnya atau penyebab sirkuler (Rajab, 1996). Sementara itu, Harris (1984) mengatakan bahwa kemiskinan disebabkan karena keterbatasan faktor-faktor geografis (daerahnya terpencil atau terisolasi, dan terbatasanya prasarana dan sarana), ekologi (keadaan sumber daya tanah/lahan, dan air serta cuaca yang tidak mendukung), teknologi (kesederhanaan sistem teknologi untuk berproduksi), dan pertumbuhan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan tingkat penghasilannya. Chambers (1983) mengemukakan bahwa sebenarnya orang-orang miskin tidaklah malas, fatalistik, boros, dungu dan bodoh, tetapi mereka sebenarnya adalah pekerja keras, cerdik dan ulet. Argumennya dilandasi bahwa mereka memiliki sifat-sifat tersebut karena untuk dapat mempertahankan hidupnya dan melepaskan diri dari belenggu rantai kemiskinan.

2.4 Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Buleleng.
I. Dasar Pembentukan
1.      Secara yuridis SatPol PP kabupaten buleleng dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 4 tahun 2008 tentang pembentukan, susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah tanggal 18 Februari 2008.
2.      Secara de facto SatPol PP berdiri tanggal 27 Juli 2008 yang ditandai dengan pelantikan Kepala Polisi Pamong Praja Kabupaten Buleleng oleh Bapak Bupati Buleleng.
3.      SatPol PP merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan kepala satuan setingkat Eselon IIIa.
II. Struktur Organisasi
1.      SatPol PP dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati melalui sekretaris daerah.
2.      Susunan organisasi SatPol PP, terdiri dari :
a)      Sub bagian tata usaha
b)      Seksi data dan program
c)      Seksi penegakan peraturan perundang-undangan
d)     Seksi ketertiban umum.
III. Tugas Pokok dan Fungsi
Sesuai Peraturan Bupati Buleleng Nomor 63 tahun 2008 tentang tugas pokok dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Buleleng adalah sebagai berikut:
Tugas pokok:
1.    Membantu tugas-tugas bupati dalam pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum.
2.    Menegakkan peraturan daerah, keputusan bupati, dan kebijakan pemerindah daerah lainnya
Fungsi :
1.      Perumusan kebijakan teknis di bidang penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban bardasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh bupati.
2.      Penegakan  peraturan daerah, keputusan bupati dan kebijaksanaan pemerintah daerah dan kebijaksanaan pemerintah daerah lainnya berdasarkan kewenangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh bupati.
3.      Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum di daaerah.
4.      Pelaksanaan kerjasama dengan kepolisian dan pihak instansi lainnyaa didasarkan atas hubungan fungsional, saling membantu dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan hierarki, kode etik, profesi dan birokrasi.
5.      Pelaksanaan tata usaha satuan polisi pamong praja.

IV. Visi dan Misi
1.      Visi
“Terwujudnya ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah”
2.      Misi
a.       meningkatkan pelaksanaan ketentraman dalam upaya pemerintah dan masyarakat dapat melakukan kegiatan secara nyaman.
b.      Meningkatkan pelaksanaan ketertiban umum melalui intensivitas patroli dan koordinasi.
c.       Meningkatkan pengawasan dan menegakkan pelaksanaan peraturan daerah, keputusan bupati dan kebijakan pemerintah daerah.
V. Peraturan yang mengatur tentang Satpol PP Buleleng
1.      Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng No. 4 Tahun 2008 Tentang Pembentukkan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah.
2.      Peraturan Bupati Buleleng No.63 Tahun 2008 Tentang Tugas Pokok dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bululeng.
VI.  Kewenangan Satpol PP
a.       Menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang menggangu ketentraman dan ketertiban umum.
b.      Melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.
c.       Melakukan tindakan Represif  Non Yustisial, terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.





BAB III
METODE PENULISAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Keseluruhan kegiatan penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama persiapan penelitian meliputi pembuatan instrument penelitian dan mencari literature-literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan pada tanggal 23,24,25 April 2010. Tahap kedua adalah wawancara dengan tunawisma di lokasi tunawisma pada tanggal 26 April 2010. Tahap terakhir adalah penyusunan laporan penulisan.
2 Tempat Penelitian
Wawancara dilakukan di pasar Mumbul (Jalan Ahmad Yani) dan di depan Telkom .
3.2 Penetuan Subjek Penelitian
1. Penentuan Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah salah satu tunawisma di pasar Mumbul dan di depan Telkom.
3.3 Jenis data
Menurut sifatnya jenis data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah:
1.      Data kualitatif yaitu data yang berbentuk data, kalimat, skema atau gambar. Data kualitatif yang digunakan dalam makalah ini adalah publikasi-publikasi di media cetak dan internet yang relevan dengan pembahasan masalah dalam makalah ini.
Menurut sumbernya jenis data yang digunakan dalam makalah ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang dikumpulkan langsung dari sumbernya oleh peneliti. Data primer dalam penyusunan makalah ini adalah data hasil dari wawancara dengan informan yang relevan dengan penyusunan makalah ini. Data sekunder yaitu data yang telah dikimpulkan dan dipublikasikan oleh pihak tertentu. Data sekunder dalam makalah ini diperoleh dari buku-buku dan internet untu mendapatkan pengetahuan yang dapat dipercaya sebagai pembahasan.


3.4 Instrumen dan Metode Pengumpulan Data
Instrument penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pedoman wawancara dan observasi dengan metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
a.       Metode observasi
Teknik observasi atau pengamatan dalam penulisan ini adalah penulis langsung ke lokasi untuk mengamati dan berusaha melibatkan diri di dalamnya. Yang dijadikan perhatian dalam pengamatan diantaranya adalah para pedagang kaki lima, pembeli, serta orang lain di sekitarnya.
b.      Metode Wawancara
Teknik wawancara yang penulis lakukan adalah dengan menggunakan bentuk pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka terhadap tunawisma.
c.       Metode Studi Pustaka
Untuk melengkapi data yang diperoleh dengan  metode di atas digunakan pula metode pustaka yaitu mengumpulkan data dari beberapa sumber tertulis.
3.5 Analisis Data
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengolahan data pada dasarnya meliputi seleksi data, klasifikasi data, dan analisis data. Sesuai dengan namanya pada tahap seleksi data dilakukan penyeleksian atas kelengkapan data. Data yang sudah terseleksi kemudian diklasifikasi sesuai dengan jenis data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian. Pada tahap akhir dilakukan analisis data.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Faktor Penyebab Adanya Lansia Tunawisma
Ada berbagai alasan yang menjadikan seseorang atau lansia memilih untuk menjalani hidupnya sebagai seorang Tunawisma. Mulai dari permasalahan psikologis, kerenggangan hubungan dengan orang tua, atau keinginan untuk hidup bebas. Namun alasan yang terbanyak dan paling umum adalah kegagalan para perantau dalam mencari pekerjaan. Cerita-cerita di kampung halaman tentang kesuksesan perantau kerap menjadi buaian bagi putra daerah untuk turut meramaikan persaingan di kota besar.
Beberapa di antaranya memang berhasil, namun kebanyakan dari para perantau kurang menyadari bahwa keterampilan yang mumpuni adalah modal utama dalam perantauan. Sehingga mereka yang gagal dalam merengkuh impiannya, melanjutkan hidupnya sebagai tunawisma karena malu bila pulang ke kampung halaman. Masalah kependudukan di Indonesia pada umumnya telah lama membawa masalah lanjutan, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan. Dan bila kita meninjau keadaan dewasa ini, pemerataan lapangan pekerjaan di Indonesia masih kurang. Sehingga kota besar pada umumnya mempunyai lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan lebih besar daripada kota-kota kecil.
Hal inilah yang menjadi penyebab keengganan tunawisma untuk kembali ke daerahnya selain karena perasaan malu karena berpikir bahwa daerahnya memiliki lapangan pekerjaan yang lebih sempit daripada tempat dimana mereka tinggal sekarang. Mereka memutuskan untuk tetap meminta-minta, mengamen, memulung, dan berjualan seadanya hingga pekerjaan yang lebih baik menjemput mereka.
Selain itu, masalah yang sampai saat ini belum teratasi yaitu kemiskinan yang sangat mempengaruhi munculnya tunawisma pada lansia. Permasalahan yang sangat dirasakan oleh kaum miskin yaitu permasalahan sosial ekonomi mereka, yakni karena mereka tidak mempunyai ekonomi yang cukup mereka tidak bisa membeli rumah sehingga mereka memutuskan untuk menjadi tunawisma .
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan lansia tunawisma yang tinggal di Pura Jagat Natha dan pasar mumbul Singaraja itu diperoleh bahwa salah satu lansia ini berasal dari Desa Kubutambahan Banjar Depee Singaraja. Nenek ini meninggalkan rumah sejak lama tepatnya semenjak orang tuanya meninggal. Dia diusir oleh keluarganya karena alasan yang tidak jelas. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari nenek ini mumbuat kukusan dan menjualnya di kawasan singaraja, selain menjual kukusan nenek juga memulung dengan penghasilan yang tidak menentu dan bahkan terkadang dalam sehari tidak mendapatkan uang sepeserpun. Setiap harinya nenek ini makan dari hasil penjualan dan memulung, serta dari belas kasihan orang. Nenek ini lebih memilih tinggal di jalanan daripada tinggal dipanti karena merasa trauma akan dimusuhi dan diusir orang seperti keluarga yang mengusirnya.

4.2 Upaya dan Peranan Pemerintah Kota Singaraja dalam Menanggulangi Lansia Tunawisma di Kota Singaraja.
Permasalahan tunawisma pada lansia sampai saat ini merupakan masalah yang tidak habis-habis, karena berkaitan satu sama lain dengan aspe-aspek kehidupan. Namun pemerintah juga tidak habis-habisnya berupaya untuk menanggulanginya. Dengan berupaya menemukan motivasi melalui persuasi dan edukasi terhadap tunawisma supaya mereka mengenal potensi yang ada pada dirinya, sehingga tumbuh keinginan dan berusaha untuk hidup lebih baik.
Peran pemerintah Kabupaten Buleleng dalam menanggulangi masalah lansia tunawisma adalah dengan membuat kebijakan sosial. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni menangani masalah sosial dalah hal ini menangani masalah gepeng. Sebagai kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki dua fungsi yaitu fungsi preventif (pencegahan) dan fungsi kuratif (penyembuhan).


1.      Fungsi Preventif (Pencegahan)
Fungsi Preventif menyangkut pencegahan terhadap masuknya lansia tunawisma ke dalam Kota Singaraja.
a.       Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Bantuan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara membentuk kelompok usaha bersama (KUBE). Setiap kelompok beranggotakan 10 KK. Setiap kelompok KUBE mendapat bantuan bibit ternak sapi oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali.
b.      Bantuan Pemberian Keterampilan
Bantuan pemberian keterampilan diberikan berupa keterampilan membuat anyaman dengan bahan baku daun lontar. Juga diberikan bantuan keterampilan cara pembuatan gula aren.

2.      Fungsi Kuratif (Penyembuhan)
Fungsi kuratif menyangkut penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani masalah lansia tunawisma.
a.       Pengadaan Razia
Pengadaan razia dilakukan oleh Satpol PP di Kota Singaraja. Dalam hal ini terjadi koordinasi antara Dinas Kesejahteraan Sosial dengan Satpol PP. Dinas Kesejahteraan Sosial  memberikan informasi tentang keberadaan lansia tunawisma kepada Satpol PP, kenudian yang berwenang mengadakan razia adalah Satpol PP.
Bukan hal yang mudah untuk menyelesaikan masalah lansia tunawisma. Di zaman krisis ekonomi global seperti sekarang, ditambah lagi dengan semakin banyaknya pertumbuhan jumlah penduduk, tidak sedikit masyarakat yang merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Sehingga banyak di antara mereka yang terpaksa harus hidup di jalanan untuk bertahan hidup. Misalnya dengan menjadi tunawisma. Selama ini, razia yang dilakukan oleh Satpol PP belum efektif. Terbukti dengan masih banyaknya tunawisma yang masih berkeliaran di Kota Singaraja.
b.      Penampungan Lansia Tunawisma
Lansia tunawisma yang terjaring razia oleh Satpol PP dibawa ke Dinas Kesejahteraan Sosial. Di Dinas Kesejahteraan Sosial Singaraja, lansia tunawismayang terjaring razia ditempatkan di panti.
c.       Pemberian Bimbingan Mental
Pemberian bimbingan mental dilakukan langsung di Dinas Kesejahteraan Sosial Singaraja dengan mengundang tokoh agama dari Dinas Agama singaraja, polisi, satpol PP, dan dari Dinas Kesejahteraan Sosial sendiri.
Penanganan terhadap kaum Tunawisma pun di atur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 Ayat (1) yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” sebenarnya menjamin nasib kaum ini. Namun Undang-Undang belum dapat terlaksanakan di seluruh lapisan masyarakat, dikarenaka bahwa kebijakan pemerintah selama ini hanyalah kebijakan yang menyentuh dunia perkotaan secara makroskopis dan bukan mikroskopis. Pemerintah daerah cenderung menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan mekanisme lanjutan kepada para stakeholder sehingga terkesan demi menjadikan sesuatu lebih baik, mereka mengorbankan hak-hak individu orang lain
Selain itu, dibawah ini terdapat solusi dalam menangani Tunawisma yaitu:
·         Tugas pemerintah untuk menangani masalah perkotaan pada umumnya dan tunawisma pada khususnya adalah menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak di kota-kota kecil.
·         Rencana pembangunan pemerintah seharusnya mengedepankan pembangunan secara merata sehingga tidak timbul “gunung dan lembah” di negara, pembangunan hendaknya dilakukan dengan pola “dari desa ke kota” dan bukan sebaliknya. Sehingga, masing-masing putra daerah akan membangun daerahnya sendiri dan mensejahterakan hidupnya.
·         Melakukan Pembinaan kepada para Tunawisma dapat dilakukan melalui panti dan non panti, tetapi pembina harus mengetahui asal usul daerahnya serta identifikasi penyebab yang mengakibatkan mereka menjadi penyandang masalah sosial itu.
·          Kalau para Tunawisma disebabkan faktor ekonomi atau pendapatan yang kurang memadai, mereka bisa diberi bekal berupa pelatihan sesuai potensi yang ada padanya, di samping bantuan modal usaha.
·          Mengembalikan para tunawisma ke kampung mereka masing-masing.
·          Pemerintah atau masyarakat mengadakan Program Pendidikan non formal bagi para tunawisma, sehingga dengan cara ini para tunawisma mendapatkan pengetahuan.
Dengan mekanisme yang lebih menyentuh permasalahan dasar para tunawisma tersebut diharapkan masalah tunawisma di kota Singaraja dapat teratasi tanpa menciderai hak-hak individu mereka dan malah dapat membawa para gelandangan kepada kehidupan yang lebih baik.
Namun, mekanisme di atas merupakan tindakan jangka panjang dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat terealisasi, untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antar generasi kepemerintahan agar hal tersebut dapat terwujud dan pada akhirnya kesejahteraan bangsa dapat lebih mudah dicapai.
                                                     
4.3 Faktor-Faktor yang Menjadi Hambatan dalam Upaya Penanggulangan Lansia Tunawisma Di Kota Singaraja
Kendala-kendala yang menyulitkan upaya penanganan tunawisma adalah:
1.Alokasi dana untuk penanganan Tunawisma relatif kecil.
2.Upaya penanganan terhadap Tunawisma seringkali hanya berhenti pada pendekatan punitif-represif.
3. Upaya penanganan sering tidak didukung oleh kebijakan Pemerintah Daerah.
4. Kurangnya partisipasi dan perhatian dari pemerintah.
5. Belum teratasinya kemiskinan
   

      BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Faktor-faktor penyebab adanya lansia tunawisma di Singaraja adalah permasalahan sosial ekonomi yakni mereka tidak mempunyai ekonomi yang cukup mereka tidak bisa membeli rumah sehingga mereka memutuskan untuk menjadi tunawisma. Permasalahan psikologis, kerenggangan hubungan dengan orang tua, atau keinginan untuk hidup bebas juga mempengaruhinya.
  2. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menggulangi masalah lamsia tunawiama adalah dengan mendirikasn panti jompo, membuka lapangan kerja bagi para lamsia, memberikan penyuluhan dan bekal ilmu, memberikan modal bagi lamsia yang ingin membuka usaha.
  3. Kendala-kendala yang menyulitkan upaya penanganan tunawisma adalah:
Ø  Alokasi dana untuk penanganan Tunawisma relatif kecil.
Ø  Upaya penanganan terhadap Tunawisma seringkali hanya berhenti pada pendekatan punitif-represif.
Ø  Upaya penanganan sering tidak didukung oleh kebijakan Pemerintah Daerah.
Ø  Kurangnya partisipasi dan perhatian dari pemerintah.
Ø  Belum teratasinya kemiskinan

5.2 Saran
Setalah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat lebih peka terhadap keadaan lingkunagn di sekitarnya sehingga mengetahui permasalahan-permasalahan dan potensi-potensi yang ada di daerahnya. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat menemukan dan memberikan solusi untuk memecahkan masalah-masalah social maupun ekonomi di daerahnya atau bahkan dapat mengembangkan dan memaksimalkan potensi yang ada di derahnya.  

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pedagang kaki lima. Tersedi pada http://www.wikipedia.com (di akses tanggal 22 Agustus 2009).
Anonim. 2009. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Keberadaan Pedagang kaki lima. Tersedia pada http://www.shvoong.com (di akses tanggal 22 Agustus 2009).
Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Iqbal. Melihat Fenomena Pedagang Kaki Lima Melalui Aspek Hukum. Tersedia pada http://www.wordpress.com (diakses tanggal 22 Agustus 2009).

Kumurur, V. 2006. Pedagang Kaki Lima (Pkl) Dan Potensinya Mempercantik. Tersedia pada http://veronicakumurur.blogspot.com  (diakses tanggal 22 Agustus 2009).

.Marbun. 1988.  Kota Indonesia Masa Depan: Masalah dan Prospek. Jakarta: Erlangga.

Soelaeman, M. 2005. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT. Refika Aditama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar